Peranan Pers Di Indonesia
Tak
ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat
merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara.
Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan
kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan
pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak
wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi
harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45
Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Begitu pula kebebasan pers di Indonesia
pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden
Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa
untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan
pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).
Demokrasi
sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian bahwa
adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan ketentuan dalam
masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai
kebijakan pemerintah, oleh karena kebijakan tersebut menentukan
kehidupannya. Dengan kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat
kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Agar
masyarakat dapat berperan serta dalam mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, maka perlu adanya sarana atau
media yang akan digunakan dalam partisipasi tersebut. Salah satu sarana
yang dapat digunakan masyarakat dalam partisipasi politik adalah pers.
Dalam proses demokratisasi faktor komunikasi dan media massa mempunyai fungsi penyebaran informasi dan kontrol sosial. Pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana.
Dalam proses demokratisasi faktor komunikasi dan media massa mempunyai fungsi penyebaran informasi dan kontrol sosial. Pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga demokrasi dapat terlaksana.
Sebagai
lembaga sosial pers adalah sebuah wadah bagi proses input dalam sistem
politik. Diantara tugasnya pers berkewajiban membentuk kesamaan
kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga wajar sekali apabila
pers berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan
pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk
secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap sasaran yang
manapun sejauh hal itu benar-benar berkaitan dengan proses
input.Demokrasi sering kali datang bersamaan dengan semacam gelombang
revolusioner dari mobilisasi rakyat, yakni gelombang pasang rakyat yang
bersamanya berbagai unsur masyarakat terbawa dalam suatu gelombang massa yang mencari identitasnya dengan berbagai unjuk rasa.
Ketentuan
tentang penyelenggaraan pers di negara Kita diatur dalam Undang-Undang
nomor 11 tahun 1966. sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan maka
Undang-Undang ini diperbarui dengan Undang-Undang nomor 04 tahun 1967
dan terakhir diperbarui dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 1982. Dalam
Undang-Undang nomor 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers
yang dimaksud dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat revolusi
yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang
bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waku terbitnya,
diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri
berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau
alat-alat cetak lainnya. Sesuai dengan perubahan Undang-Undang nomor 11
tahun 1966 yang diganti dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 1982 maka
istilah pers sebagai lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang tercantum
dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 1966 diganti dengan pers adalah
lembaga kemasyarakatan alat perjuangan nasional.
Peranan Pers
Peranan
pers yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku atau tindakan
yang diharapkan dilakukan oleh pers sebagai sebuah lembaga atau
institusi dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia,
khususnya dalam peristiwa revolusi Mei 1998. Secara umum pers mempunyai
banyak peranan, namun peranan-peranan pers yang menjadai fokus dalam
penelitian ini adalah :
- Melakukan kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat konstruktif
- Menjadikan dirinya sebagai sarana perubahan
- Demokratisasi
Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan demokratisasi adalah proses
perubahan politik masyarakat dengan penerapan nilai-nilai atau
kaidah-kaidah demokrasi dalam setiap kehidupan politik sehingga
terbentuknya kehidupan politik yang bercirikan demokrasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan pers.
1) Tempat hidup dan berkembangnya media tersebut. Karena dalam masyarakat peranan itu bukan hanya abstrak tetapi harus konkret.
2) Komitmen
pada kepentingan bersama yang harus sanggup mengatasi komitmen akan
kepentingan dan pertimbangan kelompok bukan dalam suatu hubungan yang
konteradiktif.
3) Visi
dan editorial policy, yang akan membedakan media cetak yang satu dengan
media cetak yang lain dan juga menjadi pedoman serta kriteria dalam
proses menyeleksi kejadian-kejadian dan permasalahan untuk diliput dan
dijadikan pemberitaan. (Jacob Oetama, 2001 : 433).
Secara
umum didalam Undang-undang nomor 11 tahun 1966 yang kemudian diubah
dengan Undang nomor 21 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok
pers, peranan dan fungsi pers adalah sebagai berikut:
1. Melakukan
pendidikan kepada masyarakat dalam arti seluas-luasnya terutama
mengenai tujuan-tujuan dan urgensi serta jalannya proses pembangunan
dalam segala aspek.
2. Melakuakan
penerangan dalam arti memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat
khususnya yang berhubungan dengan peningkatan pengetahuan rakyat
mengenai masalah-masalah pembangunan dalam arti luas.
3. Memberikan hiburan dalam arti penyegaran untuk memulihkan dan mempertinggi gairah hidup (optimisme) masyarakat.
4. Mendorong
kegiatan kebudayaan dalam arti luas demi pembinaan kebudayaan bangsa
untuk menyongsong tantangan dunia modern dengan tidak melupakan
akar-akar kebudayaan asli yang terdapat pada rakyat.
5. Melakukan
kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat konstruktif dalam semua
bidang kegiatan kehidupan bangsa antara lain dengan menggalakkan
komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
6. Menjadikan dirinya sebagai sarana perubahan dan modernisasi. (Sumono Mustofa, 1978: 34-35)
Referensi tentang pers
Kebebasan
pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers
yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press).
Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan
kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target
pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara
(pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam
kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi
kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan
sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada
pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).
Pers
harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik
untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan
sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan
publik terhadap pemimpinnya dapat terwujud.
Ketentuan
tentang penyelenggaraan pers di negara Kita diatur dalam Undang-Undang
nomor 11 tahun 1966 yaitu tentang ketentuan-ketentuan pokok pers yang
dimaksud dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat revolusi yang
mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat
umum, tapi sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan maka Undang-Undang
ini diperbarui dengan Undang-Undang nomor 04 tahun 1967 dan perbaharuan
terakhir yaitu Undang-Undang nomor 21 tahun 1982 dengan pers adalah
lembaga kemasyarakatan alat perjuangan nasional.
A. Kebebasan Pers Pada Masa Orde Baru
Di
Masa Orde Baru mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan.
Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang
negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa
adanya Pwi (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang
sinifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media
yang turut mencengkeramkan kuku-kukunya pada kebebasan pers di tanah
air.
Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika Tempo, Eitor dan DeTIK dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika Surbakti (1997: 43) mencatat bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah.
Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui model-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita lihat; pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa atau isu tertentu dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pers. Pada kenyataannya pers pada masa itu sedemikian dekatnya dengan logika self-censorship, baik hal ini dipaksakan oleh negara atau pun keinginan murni dari pemimpinnya.
Bentuk lain dari hegemoni negara atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial.
Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar (1994: 23) bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Penelitian yang dilakukan Abar berkenaan dengan pers di awal masa Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Artinya, pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah mengapa negara begitu resisten dan represif terhadap pers? Penelitian ini sendiri sama sekali tidak menyinggung hal tersebut. Padahal pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya pada lembaga pers.
Jika kita mencoba mejawab pertanyaan mendasar di atas, kita harus menengok bagaimana pemerintahan Orde Baru berdiri. Soeharto memiliki latar belakang militer dalam karir politiknya. Sehingga ketika ia menjadi presiden, ia tidak dapat melepaskan diri dari gaya-gaya kepemimpinan a la militer. Di awal kepemimpinannya, ketika situasi dalam negeri sedikit-banyak mengalami kekacauan akibat intrik-intrik politik dari berbagai kelompok kepentingan, misalkan Partai Komunis Indonesia, bisa jadi kepemimpinan model militer adalah yang tepat. Situasi yang darurat, anomali sosial begitu banyak, maka situasi semcam itu perlu distabilkan agar tidak berdampak lebih buruk. Pada titik inilah Abdul Gafur (1988: 179), melihat bahwa fungsi militer pada masa Orde Baru adalah sebagai stabilisator juga dinamisator. Dengan dua fungsi itu, militer atau tepatnya ABRI dengan dwi-fungsinya ikut terlibat dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik Orde Baru.
Sayangnya, model kepemimpinan a la militer itu tetap Soeharto pakai hingga era 1970-1980an. Padahal kondisi masyarakt saat itu sedikit-banyak sudah berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaanya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya. Model kepemimpinan ini banyak sekali mendapat kritikan dari berbagai pihak, karena secara esensial apa yang diklaim Soeharto dengan demokrasi Pancasilanya tak lain adalah proyek hegemoni dan dominasi besar-besaran atas kesadaran masyarakat. Dalam mewujudkan proyek besar itu, Soeharto menggunakan militer sebagai alat yang efektif untuk mengawal setiap kebijakan yang ia keluarkan.
Pada titik itulah, pers melihat bahwa model kepemimpinan yang digunakan Soeharto akan memberangus kebebasan masyarakat. Artinya juga logika kekuasaan semacam itu pada suatu waktu akan menghancurkan dirinya (pers), karena pers adalah salah satu pilar penyusun sistem demokrasi yang memiliki funsgi pentingnya. Artinya pola yang digunakan Soeharto pada esensinya kontradiktif dengan logika pers itu sendiri. Tidak heran jika Orde Baru sedemikian represifnya dengan pers, karena pers adalah penghalang bagi lahirnya demokrasi Pancasila yang hegemonik dan dominatif.
Untuk mengoperasikan model kepemimpinannya, maka Orde Baru harus mengideologisasikan keamanan masyarakat. Artinya, Orde Baru harus mampu menciptakan kesan bahwa rasa keamanan selalu dibutuhkan. Untuk menciptakan perasaan semacam ini pada masyarakat, maka Orde Baru menggunakan logika perpetuation of insecurity atau mengabadikan rasa ketidakamanan. Dengan mengabadikan rasa ketidakamanan ini, Orde Baru akan lancar ketika menggunakan kepemimpinan yang militeristik. Sehingga, dengan sendirinya pengabadian rasa ketidakamanan ini menjadikan kemanan layaknya seperti agama. Dakhidae (1997: 28), mencatat bahwa kemanan yang dihubungkan dengan pers itu bukan keamanan yang sifatnya fisikal, tetapi kemanan di sana sudah menjadi suatu ideologi, dan dalam prosesnya terjadi suatu ideologisasi keamanan, dan bahkan lebih jauh menjadi suatu religiofication of security.
Keamanan menjadi semacam agama, dalam pengertian ini ideologi kemanan bekerja seperti dalam arti yang biasa. Ideologi kemanan merumuskan tindakan, mengatur kebijakan negara, dan pada gilirannya kebijakan negara tersebut mengatur perilaku aparat dan warga negaranya.
Nasib pers pada masa ideologisasi kemanan ini sangat sulit, karena pers harus bertindak dalam kerangka yang abu-abu. Kerangka yang diterapkan kepada pers adalah bagaimana pers mengalami sebuah bentuk tautologi represif. Artinya, pemisahan antara kebebasan dan tanggungjawab. Orde Baru tidak memformulasikan kebebasan pers yang bertanggung jawab—artinya, tanggung jawab adalah garis batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan—tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggungjawab (dalam Dakhidae, 1997: 31).
B. Kebebasan pers di Era Reformasi
Tumbuhnya
pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi
masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi
kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat.
Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok
dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap,
dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai
konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia.
Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong
pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut.
Peran
pers di masa reformasi menjadi penting untuk menyelesaikan kesenjangan
komunikasi politik antara masyarakat dan pemerintah. Tentunya hal yang
wajar jika masyarakat gagap hendak menggunakan model komunikasi semacam
apa ketika reformasi telah membuka kran kebebasan sebebas mungkin,
pasalnya masyarakt sudah terbiasa dengan pola komunikasi top-down selama
30 tahun lamanya. Di sinilah pers menjadi media yang memungkinkan untuk
menjembatani masyarakat dan pemerintah agar komunikasi politik yang
terjadi tidak melulu berkesan top-down, tetapi pada titik tertentu
menjadi bottom-up. Meskipun pada praktiknya untuk mewujudkan komunikasi
politik bottom-up melalui media massa
tidaklah mudah. Karena pada masa reformasi, setiap komunikator politik
memainkan perannya lebih maksimal. Muis (2000: 166), mencatat bahwa
hampir semua opini publik yang bernuansa kritik sosial yang konstruktif
melalui pers hampir selalu memperoleh bantahan dari para komunikator
elit, yang ada justru pers menjadi media yang memungkinkan terjadinya
krisis informasi.
Orde Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan oleh pemerintah, lebih-lebih masyarakat. Tapi juga masalah yang pokok yang mencerminkanfungsi dari media massa itu sendiri. Emilianus (2005: 129), mencatat sedikitnya ada enam prinsip tanggungjawab sosial yang harus diemban oleh pers. Pertama; media mempunyai kewajiban tertentu kepada masyarakat, kedua; kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang atau tinggi tentang informasi, kebenaran, obyektivitas dan keseimbangan, ketiga; dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut seyogyanya media dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada, keempat; media sedapat mungkin menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, yang akan mengakibatkan ketidaktertiban atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama, kelima; media hendaknya bersifat pluralistik dan mencerminkan kesempatan yang sama untuk mengemukakan berbagai sudut pandang, dan hak untuk menjawab, keenam; masyarakat memiliki hak untuk mengharapkan satandar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
Beberapa prinsip umum di atas pada kenyataanya justru tergerus dan kurang optimal karena atmosfir perss euphoria. Pers menjadi lupa akan posisinya di tengah-tengah sirkum pemerintah-masyarakat-modal. Di masa itu, pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi dengan masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.
Orde Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan oleh pemerintah, lebih-lebih masyarakat. Tapi juga masalah yang pokok yang mencerminkanfungsi dari media massa itu sendiri. Emilianus (2005: 129), mencatat sedikitnya ada enam prinsip tanggungjawab sosial yang harus diemban oleh pers. Pertama; media mempunyai kewajiban tertentu kepada masyarakat, kedua; kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang atau tinggi tentang informasi, kebenaran, obyektivitas dan keseimbangan, ketiga; dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut seyogyanya media dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada, keempat; media sedapat mungkin menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, yang akan mengakibatkan ketidaktertiban atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama, kelima; media hendaknya bersifat pluralistik dan mencerminkan kesempatan yang sama untuk mengemukakan berbagai sudut pandang, dan hak untuk menjawab, keenam; masyarakat memiliki hak untuk mengharapkan satandar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
Beberapa prinsip umum di atas pada kenyataanya justru tergerus dan kurang optimal karena atmosfir perss euphoria. Pers menjadi lupa akan posisinya di tengah-tengah sirkum pemerintah-masyarakat-modal. Di masa itu, pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi dengan masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia
mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan.
Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan
elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Namun, di sisi lain,
kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian
industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat.
Tujuan
yang ingin di capai bukan hanya sekedar kebebasan antar celah antara
rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan
pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang
bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Ada
hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat
informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan
lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini
Teori-teori yang mendukung pers :
1. Teori Pers Otoritarian
Muncul
pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans, segera setelah
ditemukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran
dianggap bukanlah hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil
orang –orang bijak yang berkedudukan membimbing dan mengarahkan
pengikut-pengikut mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat
dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke
bawah. Penguasa-penguasa waktu itu menggunakan pers untuk memberi
informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus
didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan
ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung
kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan. Kegiatan penerbitan dengan
demikian merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan
penerbit, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli dan ang terakhir
memberikan dukungan. Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk
membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang
menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilangkan fungsi pers
sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan.
Praktek-praktek
otoritarian masih ditemukan di seluruh bagian dunia walalupun telah ada
dipakai teori lain, dalam ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, oleh
sebagian besar Negara komunis.
2. Teori Pers Libertarian
Teori
ini memutarbalikkan posisi manusia dan Negara sebagaimana yang dianggap
oleh teori Otoritarian. Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk
berakal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
antara alternative yang lebih baik dengan yang lebih buruk, jika
dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan pilihan-pilihan
alternative. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa.
Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia.
Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran.
Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas sari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers.
Sebagian besar Negara non komunis, paling tidak di bibir saja, telah menerima teori pers Libertarian. Tetapi pada abad ini telah ada aliran-aliran perubahan. Aliran ini berbentuk sebuah Otoritarianisme baru di Negara-negara komunis dan sebuah kecenderungan kearah Liberitarianisme baru di Negara-negara non komunis. Teori Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya.
fungsi pers dalam teori Libertarian. Digambarkan ada enam tugas pers :
1) Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
2) Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri.
3) Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah.
4) Melayani system ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan,
5) Menyediakan hiburan
6) mengusahakan sendiri biaya financial, demikian rupa sehingga bebas dari tekanan-tekanan orang yang punya kepentingan.
3. Teori Pers Tanggungjawab Sosial
Teori
ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori
Tanggungjawab social punya asumsi utama : bahwa kebebasan, mengandung
didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan; dan pers yang telah
menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus
bertanggungjawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi
penting komunikasi massa
dalam masyarakat modern. Asal saja pers tau tanggungjawabnya dan
menjadikan itu landasan kebijaksanaan operasional mereka, maka system
libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak
mau menerima tanggungjawabnya, maka harus ada badan lain dalam
masyarakat yang menjalankan fungsi komunikasi massa.
4. Teori Pers Soviet Komunis
Dalam
teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang,
sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam
tindakan-tindakan masyarakat.
Kekuasaan itu mencapai puncaknya (a) jika digabungkan dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan distribusi , dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan.
Partai Komunis memiliki kekuatan organisasi ini. partai tidak hanya menylipkan dirinya sendiri ke posisi pemimpin massa; dalam pengertian yang sesungguhnya, Partai menciptakan massa dengan mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang termobilisir. Partai mengganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa. Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan dan terkoordinir. Pembujukan adalah tanggungjawabnya para agitator, propagandis dan media. Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan partai. Komunikasi massa secara erat terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya dari kekuasaan negara dan pengaruh partai. Komunikasi massa digunakan untuk instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai. Komunikasi massa hampir secara ekslusif digunakan sebagai instrumen propaganda dan agitasi. Komunikasi massa ini punya ciri adanya tanggungjawab yang dipaksakan.
Kekuasaan itu mencapai puncaknya (a) jika digabungkan dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan distribusi , dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan.
Partai Komunis memiliki kekuatan organisasi ini. partai tidak hanya menylipkan dirinya sendiri ke posisi pemimpin massa; dalam pengertian yang sesungguhnya, Partai menciptakan massa dengan mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang termobilisir. Partai mengganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa. Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan dan terkoordinir. Pembujukan adalah tanggungjawabnya para agitator, propagandis dan media. Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan partai. Komunikasi massa secara erat terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya dari kekuasaan negara dan pengaruh partai. Komunikasi massa digunakan untuk instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai. Komunikasi massa hampir secara ekslusif digunakan sebagai instrumen propaganda dan agitasi. Komunikasi massa ini punya ciri adanya tanggungjawab yang dipaksakan.
ANALISA
Menurut
saya, di Indonesia sistem yang paling cocok untuk diterapkan adalah
sistem tanggungjawab sosial. Sistem ini sendiri adalah gabungan dari
sistem pers libertarian dan sistem pers tanggungjawab sosial. Hal ini
dapat dilihat dari segi kebebasan yang dianutnya. Sistem pers
tanggungjawab sosial dan libertarian sama-sama mempunya tugas utama,
yaitu membantu untuk menemukan kebenaran dan mengawasi jalannya
pemerintahan. Setiap anggota masyarakat dalam kedua sistem ini sama-sama
diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapatnya, karena kedua sistem
ini sangat menjamin kebebasan pers (freedom of the press) yaitu
kebebasan untuk mengetahui masalah-masalah atau fakta sosial. Kedua
sistem ini sangat menjamin kebebasan anggota masayarakatnya dalam
mencari, mendapatkan, dan menyampaikan pendapat terhadap suatu hal
melalui media massa.
Kedua sistem pers ini juga sama-sama meberikan informasi dan hiburan
kepada masyarakatnya. Perbedaannya adalah terletak dari bentuk kebebasan
itu sendiri.
Pada
sistem libertarian, pers benar-benar mempunyai kebebasan penuh tanpa
harus memperhatikan nilai-nilai ataupun norma yang berlaku, dengan kata
lain pers bebas memberitakan apa saja. Media massa
boleh dimiliki oleh siapa saja, asal mempunyai kemampuan ekonomi untuk
menggunakannya. Selagi seseorang mampu untuk mendirikan media massa maka orang tersebut boleh-boleh saja menjalankannya. Kelemahannya adalah media massa
cenderung bukan menjadi sarana penyampaian informasi ataupun pendapat,
melainkan menjadi sebuah komoditas bisnis yang mendatangkan keuntungan
bagi pemilik modal saja, dan biasanya mereka melakukan pemberitaan,
hanya membela kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu sistem pers
tanggungjawab sosial mengedepankan kebebasan yang bertanggungjawab.
Sistem ini bergerak atas dasar moral dan etika dalam setiap kegiatannya.
Sistem pers ini menggunakan standar kepatutan dan kelayakan dalam
setiap pemberitaannya. Mereka akan mempertimbangkan dampak yang dapat
ditimbulkan terhadap pernyataan yang mereka buat. Mereka sangat
memperhatikan kondisi sosial masyarakatnya, mana yang dianggap patut dan
mana yang dianggap tidak patut. Sistem pers ini sangat cocok di Indonesia, mengingat betapa beragamnya bangsa Indonesia.
Dengan
menerapkan sistem pers ini diharapkan dapat menjaga integritas bangsa,
meminimalisir persaingan usahaantar pemilik media massa, menjaga
toleransi antar kelompok-kelompok masyarakat, tercipatnya diversity of
ownership dan diversity of content, dan juga dapat menyangkal kritik
pedas yang mengatakan bahwa kebebasan pers Indonesia adalah, kebebasan
pers atau kebablasan pers? Bagi Indonesia
sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846,
yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan. contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen
01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung
jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru.
Komentar
Posting Komentar